Thursday, March 8, 2007

Menggugah Pendidikan Lewat Radio Komunitas

DUA penyiar remaja itu menyapa pendengar dengan bahasa Sunda pada acara Sampurasun di Radio Pelangi 92,5 FM. Meski studio radio itu sempit dan sederhana, mereka tampak asyik. Bahkan, beberapa lagu atau tembang Sunda diputar untuk menghibur suasana siang itu.

Itulah pemandangan yang terlihat di Radio Pelangi atau disebut radio komunitas di Desa Panyingkiran, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, yang terletak bersebelahan dengan kantor desa. Ruang studio kecil, hanya ukuran 2 X 3,5 meter persegi, dilengkapi seperangkat alat radio yang sederhana pula.

Sejak beberapa bulan ini, seperti diakui Kepala Desa Panyingkiran, M. Kusnaedi, suasana kantor desa lebih meriah. Anak muda saban hari datang ke kantor desa, karena ingin melihat langsung dan ikut nimbrung dalam berbagai acara yang disiarkan radio komunitas itu. Bahkan, pada malam Minggu, sebagian besar anak muda menghabiskan waktunya di kantor desa yang kondisinya juga sederhana.

Bagi Kusnaedi, kondisi itu tidak ditemukan sebelumnya. Desa dengan luas lahan lebih kurang 294,4 hektare itu, merupakan daerah miskin. Karena, sebagian besar penduduknya, kini berjumlah lebih kurang 1.600 kepala keluarga, hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kehadiran radio, suasana desa menjadi ramai.

Kepala Desa Kusnaedi, mengaku terharu melihat kondisi desanya saat ini. Betapa tidak, sebagian besar anak muda di desa itu berangkat bekerja di Arab Saudi, atau negara lainnya di Timur Tengah. Para orang tua lebih mendahulukan anaknya untuk bekerja, ketimbang meneruskan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.

Terjadinya perubahan dan kesadaran masyarakat, khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kegiatan sosial yang diselenggarakan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Seperti dijelaskan Herawati, pekerja YKAI, setelah delapan bulan berada di Desa Panyingkiran, kesadaran orang tua melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang lebih tinggi, seperti dari sekolah dasar ke SMP, mencapai 98 persen. "Padahal sebelumnya, anak-anak di sini kebanyakan tamat SD. Kalaupun ada yang melanjutkan, sekira 30 persen,"ujarnya.

Bukan hanya persoalan rendahnya kesadaran melanjutkan pendidikan, orang tua di desa itu juga lebih memilih mengirimkan anak mereka bekerja ke Timur Tengah. Tahun 2004 saja, sebanyak 384 anak berangkat ke negeri padang pasir itu. "Dari jumlah itu, 98 persen adalah perempuan dan hampir 30 persen di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun," kata Samsul, juga dari YKAI.

Dengan modal Rp 12,5 juta serta dukungan penuh dari masyarakat dan desa, YKAI membangun radio komunitas, beberapa bulan lalu. Keterbatasan dana, tidak menjadi halangan. Anak muda diberikan latihan sebagai penyiar. "Jumlah penyiar sebanyak 20 orang, termasuk kepala desa. Mereka tidak dibayar, melainkan sukarela menjadi penyiar," jelas Samsul.

Sasaran utama radio itu, lanjut Herawati, adalah menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, serta memberikan pelatihan kepada anak-anak muda dalam membaca. Sebab, dengan menjadi penyiar, otomatis mereka harus belajar membaca. Untuk pendukung, di sebelah studio, dibuat sanggar membaca. Kemudian, juga disediakan perpustakaan keliling.

Pendekatan pekerja YKAI, memberikan arti mendalam bagi masyarakat Panyingkiran. Seperti dikatakan Kusnaedi, pengaruh radio cukup besar. Bahkan, ia rela menjadi penyiar mesti tanpa dibayar. "Saya membawakan acara suara desa dengan nama samaran Kuwu Japrat,"katanya.

Radio komunitas Pelangi, belum memiliki izin siaran, karena masih dalam proses di Dinas Perhubungan Kab. Karawang. Meski belum mengantongi izin, siaran dimulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB.

Untuk menutup biaya operasional, dijual atensi kepada pendengar. Satu lembar harganya Rp 400,00. "Dengan hasil penjualan atensi, kami bisa membiayai operasional radio, ditambah bantuan dari kepala desa," kata Samsul.

Keberadaan radio komunitas dan kesadaran pentingnya pendidikan di Desa Panyingkiran, tampaknya sampai juga ke telinga Menteri Negara Pemberdayaan Wanita, Meutia Hatta. Hal itu terbukti, pada 1 Juni lalu, ia khusus datang ke desa tersebut melihat langsung perubahan yang terjadi. (Irwan Natsir/"PR")***

sumber Pikiran Rakyat

Rasima, Radio Komunitas dari Desa Situ Udik

Wilujeng siang pamiarsa sadaya
Patepang deui sareng Mang Jali di Rasima 93,7 FM
Kumaha damang, nuhun upami damangmah
Kanggo ngabeberah manah ieu lagu munggaran: Kalangkang
(Selamat siang pemirsa semuanya. Ketemu lagi dengan Mang Jali di Rasima 93,7 FM.
Pemirsa sehat? Untuk menghibur pemirsa ini lagu pertama: Kalangkang)

SIANG itu udara di Kompleks Taman Islam atau tepatnya di Jalan KH Abdul Hamid KM 4, Desa Situ Udik, Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat, cukup panas. Kendati demikian Mang Jali yang sedang menyapa penggemarnya bergeming meskipun ruangan studio yang sempit dan berdebu menebar hawa gerah.

Studio tempat siaran Mang Jali memang bukan studio profesional melainkan hanya sebuah ruangan sempit yang dibatasi sekat menempati sebuah bangunan dua ruang yang sebelumnya akan dijadikan tempat dagang pupuk. Namun karena belum ada modal pemiliknya merelakan ruangan itu untuk sementara disulap menjadi studio radio.

Mang Jali adalah di antara penyiar amatir di Radio Siarana Masyarakat (Rasima). Para penyiar di radio yang menempati gelombang 93, 7 FM ini memang benar-benar mengandalkan bakat alam sehingga gayanya cukup beragam tanpa pola. Kendati begitu keragaman ini malah membuat pendengarnya kian hari semakin bertambah dari anak muda hingga orang dewasa.

Namun jangan berharap Rasima dapat ditangkap di semua wilayah Bogor. Pasalnya radio yang dibidani sekelompok anak muda setahun silam ini hanya dapat dipantau di empat desa. Radio ini memang bukan untuk tujuan komersial melainkan hanya untuk menghibur dan memberi penerangan kepada masyarakat terutama pemuda, peternak sapi perah dan petani di Desa Situ Udik, sebuah desa yang letaknya 10 kilometer dari Gunung Salak.

Menurut Koordinator Radio Rasima Dudiah Syiaruddin (24), radio komunitas yang dikelolanya mengusung konsep media literacy (melek media). Artinya radio ini membawa misi agar masyarakat pedesaan cakap mengoperasikan, cakap membaca makna di belakang simbol-simbiol, cakap mencari, cakap memilih dan memilah serta cakap memproduksi program atau berita dalam sebuah media. "Ini artinya masyarakat tidak menjadi objek media massa, melainkan sebagai subjek dan berhak menentukan suatu program sesuai dengan kondisi lingkungannya," tutur Dudih yang juga mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini.

Dudiah dan dua rekannya masing-masing Natataatmaja (28) dan Eka Rebo Pahing (29) mengaku menggodok konsep radio komunitas itu cukup panjang. Bahkan ia memerlukan waktu dua tahun untuk mematangkan konsep tersebut hingga menjadi seperti sekarang. Sudah menjadi persoalan klasik, hal pertama yang membuat langkah ketiga pemuda yang gelisah dengan desanya itu terbentur masalah dana.

Untuk merakit pesawat radio dengan kekuatan 150 watt dan seperangkat pemancar setinggi 16 meter dihitung-hitung menghabiskan dana Rp 5 juta. "Tetapi, namnaya juga niat baik ada saja orang yang menyumbangkan dananya," kata Dudih berseri. Sementara untuk keperluan CD Player/MP3 meminjam dari tetangga.

Sementara untuk menambah koleksi kepingan CD dam MP3 terpaksa bergerilya meminjam ke teman-teman. Sebagian sumbangan dapri para pendengar yang lagunya ingin diputarkan bersama request (permintaan lagu).

Sebelumnya Dudih dan kelompoknya, sempat ragu untuk membuat radio komunitas. Sebab selain trauma karena di zaman rezim Orde Baru radio jenis ini dianggap ilegal dan kerap diberangus, juga karena belum diatur dalam undang-undang. Lebih-lebih dalam draf Rancangan Undang-undang Penyiaran yang sedang digodok DPR, keberadaan radio komunitas malah ada kabar ingin dihapus.

Wacana yang berkembang, radio kominitas dituding sebagai pemicu perpecahan di tingkat arus bawah. Namun sebaliknya, UNESCO menilai keberadaan radio komunitas dapat menciptakan tradisi demokrasi di kalangan masyarakat dengan memberikan tempat atau saluran bagi berbagai aspirasi di tingkat bawah.

Daripada bingung dengan wacana, akhirnya Dudih bersama dua rekannya itu memilih alasan yang dikemukakan UNESCO. Bahkan ia semakin yakin setelah mendapat sumbangan buku seputar radio komunitas dari badan PBB yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu.

Andaikan saja Dudih tetap bingung dengan wacana berkepanjangan, mungkin Rasima tak akan lahir untuk selamanya. Warga di Situ Udik pun mungkin tak akan mendengar suara Mang Jali memandu siaran lagu-lagu Sunda dan Dangdut. Bisa jadi warga juga tak akan mengetahui harga bawang, sayur-sayuran, dan cabe yang selalu diumumkan Rasima setiap malam. Tujuannya untuk membantu ibu-ibu dan memberi patokan harga sebelum paginya belanja ke Pasar Leuwiliang.

Atau bisa jadi warga tak dapat mendengarkan informasi aktual dari dua koran lokal di Bogor setiap pagi. Malah mungkin petani tak dapat bersiaran dan bercuap-cuap di corong radio membicarakan permasalahan pertanian dengann bahasa kesehariannya. Itu semua lahir karena modal nekat. “Karena asyiknya melihat antusiasme warga, sampai-sampai kami belum sempat ngurus izin siaran,” ungkap Dudih.

Dengan lima tenaga penyiar amatir, Rasima kini dapat mengudara selama 18 jam dari pukul 06.00-24.00 WIB. Latar belakang penyiar cukup beragam, mereka ada yang pengangguran, pelajar, mahasiswa dan juga pesuruh sekolah seperti Mang Jali.

Sementara program unggulan yang menjadi primadona warga di antaranya Rasima Menyapa (Menyambut pagi) pukul 0700-10.00 dan permintaan lagu yang dikemas dalam Sensasi Gado-Gado (Senggol Sana Senggol Sini) pukul 19.00-23.00. Sementara program unggulan mingguan di antaranya Kontan (Kontak Tani) yang melibatkan petani di studio serta penyuluh pertanian dan Proses (Profil Sukses). Profil sukses menampilkan orang-orang sukses di wilayah Bogor. Mereka yang sukses ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat sehingga berkeinginan untuk maju dan mau mengubah nasib. Semua daftar acara itu ditempel di kaca studio dengan perekat selotip. Dikaca juga menmpel tata tertib dan sikap siaran yang difotokopi dari buku terbitan UNESCO.

Setelah radio dirasakan cukup kuat mengudara dan diterima warga desa berpenduduk 10.720 jiwa itu, Dudih dan rekannya tak berpuas diri. Rencananya para pendengar Rasima akan diikat oleh sebuah lembaga berbentuk koperasi. Koperasi ini nantinya akan dikembangkan menjadi sebuah sarana pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya usaha kecil dan menengah.

Bukan hanya itu, dalam waktu dekat sebagian ruangan studio pun akan dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah perpustakaa yang mengoleksi buku-buku dan majalah bekas untuk warga desa. Ide mendirikan perpustakaan lahir setelah melihat respons pendengar Rasima yang tiap hari berkunjung ke studio. Minat baca warga ternyata cukup tinggi setelah Rasima merangsang mereka dengan memajang sejumlah koran dan majalah bekas di studio.[]

Majalah Pantau, Agustus 2002

diambil dari Menulis dengan Rasa dan Jiwa

Radio Komunitas Suara Pangandaran: Memberdayakan Warga

Bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda kawasan pesisir selatan Jawa pada 17 Juli 2006 lalu telah membuka banyak mata. Akhirnya disadari pentingnya pengetahuan keadaan lingkungan, alam dan perkembangan cuaca, khususnya oleh warga Pangandaran dan sekitarnya. Karenanya, keberadaan sumber informasi yang bisa dipercaya dan dapat diakses secara luas oleh warga, khususnya warga di pengungsian, menjadi suatu kebutuhan yang krusial.

Kebutuhan tersebut direspon oleh Walhi Jabar (Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat) dengan menghadirkan 107’7 FM Radio Komunitas Suara Pangandaran Darurat Recovery. Radio ini memberikan layanan informasi terkait perkembangan cuaca dan kondisi alam secara luas yang dimulai sejak minggu-minggu pertama pasca bencana gempa dan tsunami Pangandaran.

Rakom (Radio Komunitas) terletak di Jalan Kidang Pananjung 121 Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Jangkauan siarannya cukup jauh, meliputi wilayah kecamatan Pangandaran, Sidamulih, Parigi, Cijulang dan Cimerak, wilayah pesisir Ciamis Selatan, bahkan sampai ke daerah Lankap Lancar, yaitu perbtasan Kabupaten Ciamis, Kotamadya Banjar dan Kabupaten Tasikmalaya ke arah timur.

Sejak mulai mengudara 10 Agustus 2006 lalu, Rakom telah mengadakan beragam aktivitas baik on air maupun off air. Denny Jasmara, anggota Dewan Penyiaran Komunitas RAKOM Suara Pangandaran, mengatakan selain menyiarkan informasi bencana, Rakom juga mengadakan dialog warga, pelatihan bencana ke sekolah-sekolah. “Kami juga membuat kegiatan untuk memperingati Hari Bersih Pantai Sedunia tanggal 19 September 2006 lalu,” ujarnya.

Pemberdayaan WargaProgram yang berjalan sejauh ini tidak berbeda dengan umumnya stasiun radio. Kegiatan lebih ditekankan pada edukasi dan informasi kebencanaan, terutama di sekitar Jabar Selatan.

Yang menarik, setiap akhir pekan Rakom mengadakan kegiatan berupa belajar bahasa Inggris ke pantai bersama anak-anak sekitar. Menurut Dadang Sudardja, Kepala Studio Rakom Suara Pengandaran, kegiatan ini selain untuk edukasi juga berfungsi sebagai sarana pemulihan trauma pasca bencana. “Selama Ramadhan setiap sore (Rakom) ada kegiatan di berbagai masjid, menyiarkan kotbah ustadz ataupun (kegiatan) di sekolah-sekolah,” tambah Dadang.

Selama ini Rakom masih mengandalkan relawan sebagai pengisi informasi. Sumber daya manusia memang salah satu kendala yang dihadapi Rakom. Namun, warga sudah mulai berpartisipasi dengan menyumbang informasi melalui sms ataupun telepon, kemudian disiarkan di radio. Kedepannya, wargalah yang diharapkan lebih aktif.

Kendala lain ada di pendanaan. Sebagai radio komunitas non-profit, Rakom tidak diperbolehkan menerima iklan komersil. Maka tim Rakom harus bekerja keras mencari sumber pendanaan alternatif baik dari iklan layanan masayarakat maupun bantuan dana.

Sesuai dengan tujuan Rakom sebagai mediator dan artikulator serta corong bagi suara warga, keterlibatan lokal adalah yang utama. Dadang pun menyatakan harapannya agar radio ini makin memberdayakan warga dan menghasilkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik khususnya di daerah bencana tersebut.

Dibalik RakomRakom terselenggara atas inisiatif Walhi Jabar, KPID Jabar dan Jaringan Radio Komunitas Jabar. Dukungan juga didapat dari KONUS (Konservasi Alam Nusantara) dalam bentuk 30 radio transistor yang dibagikan ke posko-posko pengungsi. Antara lain di posko Kecamatan Pangandaran, dan Kecamatan Sidamulih.

Selain KONUS, komunitas lain yang juga mendukung adalah PGRI (Persatuan Guru Rewarga Indonesia) di wilayah Ciamis Selatan, Komunitas Majlis Taqlim, Karang Taruna, dan Pusat Pendidikan Lingkungan Pesisir Pangandaran. Secara kelembagaan mereka menjadi Dewan Penyiaran Komunitas dan juga sebagai pengguna/pemanfaat dan pengisi program radio.

Selain Dewan Penyiaran Komunitas, telah dibentuk pula BPPK (Badan Pelaksana Penyiaran Komunitas). BPPK terdiri dari Kepala Studio, Kesekretariatan, Divisi Program, Divisi Jurnalistik dan Pemberitaan, Divisi Usaha, Divisi Teknik, serta Divisi Umum dan Kepenyiaran.