Thursday, March 8, 2007

Sudah Kecil, Diserobot Pula: Nasib Radio Komunitas

Frekuensi radio komunitas tersingkir oleh stasiun radio Polda. Selain itu, birokrasi perizinan masih menjadi lorong panjang permasalahan.

Cobalah Anda menyalakan radio dan memutar saluran 107,8 FM. Anda akan disuguhi suara renyah si pemandu acara yang sedang siaran di Gedung Polda Metro Jaya. Isi siarannya cukup menarik dan informatif. Ada laporan situasi lalu lintas jalan raya, juga ada debat publik yang mengupas permasalahan masyarakat kota.

Nah, yang menjadi masalah, frekuensi tempat radio Polda itu bernaung, ternyata jatah milik radio komunitas. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas, kanal mengudaranya radio komunitas berada di frekuensi 107,7 hingga 107,9 FM.

"Kami menemukan kasus ini di Jakarta, Jawa Barat, serta Jawa Tengah," teriak Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Bowo Usodo. Bowo mengaku, kondisi ini tak adil. Sesuai dengan PP 51 Tahun 2005, daya (effective radiated power—ERP) radio komunitas hanya dibatasi hingga 50 watt –Pasal 5 ayat (1). Sedangkan power radio Polda tersebut ditengarai jauh lebih besar –sekitar 10 ribu watt. "Siarannya menutup siaran radio komunitas lain," sambungnya geram.

Bedanya, radio yang mengudara di Jawa Barat adalah milik Pemda. "Dulu namanya RSPD. Sekarang namanya Radio Sonata, milik Walikota Bandung," lanjut Bowo.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Andrik Purwasito menjelaskan, nongkrongnya radio Polda ini bermula pada 2004. Kala itu, siaran radio yang disponsori pihak kepolisian daerah ini mengganggu RRI dan sejumlah radio lainnya. Mengadulah RRI dan kawan-kawan atas gangguan tersebut.

Masih menurut Andrik, akhirnya Ditjen Postel Depkominfo memutuskan, frekuensi radio Polda harus diturunkan –senyampang Ditjen Postel mencarikan frekuensi lowong yang pas. Ditjen Postel pun meminta radio Polda tersebut mengajukan pendaftaran untuk mendapatkan jatah frekuensi. Untuk sementara, radio Polda ngepos di frekuensi 107,8 FM tersebut.

Andrik mengaku hingga kini radio seragam coklat itu belum mengajukan izin siaran ke KPI. "Sesuai dengan peraturan KPI, jika ingin terus bersiaran, mereka harus melayangkan izin. Jika tidak, maka ada konsekuensi logis. Bisa jadi akan ditutup," sambung Andrik. Sayang, Andrik belum bisa memastikan kapan akan melakukan operasi penutupan radio kepolisian tersebut.

Anggota KPI Ade Armando menyatakan, praktek semacam itu merupakan tindak diskriminasi yang dilakukan oleh Depkominfo. "Selama kewenangan perizinan di tangan Depkominfo, birokrasi tidak transparan. Biaya perizinan satu stasiun radio di Jakarta mencapai Rp11-15 miliar," serunya.

Ade melanjutkan, praktek perizinan dan penutupan stasiun radio tebang pilih. "Ada 6 stasiun di Sorong yang terancam di-sweeping oleh Dinas Kominfo setempat," sambung Ade.

Terpisah, Bowo menambahkan, dari 6 stasiun itu, 4 stasiun di antaranya adalah radio komunitas. "Bukannya tidak berizin. Keempat radio komunitas itu sedang mengajukan proses ke KPI tapi buru-buru mau ditutup Ditjen Postel," tutur Bowo, yang mendirikan Radio Rakita Bandung.

Pengamat media FX Rudi Gunawan menyayangkan aksi sweeping semacam itu. "Harusnya Pemerintah membantu membereskan mekanisme perizinannya. Banyak radio komunitas yang sudah eksis lama dan mempekerjakan cukup banyak tenaga kerja," sergahnya.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonusa Esa Unggul Teguh Imawan menyayangkan pembatasan ruang gerak radio komunitas hanya berdasarkan batas geografis. Menurut Teguh, radio komunitas juga harus dilihat dari segi psikografis-kultural. "Misalnya komunitas Nahdatul Ulama (NU) yang banyak tersebar di Indonesia," ujar Teguh.

Anggota JRKI Budhi Supriatna menimpali, jumlah radio komunitas tak akan berkembang. "Sesuai PP 51/2005 tersebut, setiap kecamatan hanya maksimal boleh diisi 2 stasiun radio komunitas. Mana bisa nambah?" ujarnya dengan nada Tanya.

Dari berbagai masalah nan centang perenang itu, Bowo dan kawan-kawan hanya punya keinginan sederhana. "Berikan wewenang perizinan hanya ke KPI dan cabut PP 51/2005 yang menghambat perkembangan radio komunitas," pungkasnya.

sumber Hukumonline

KPID Segel 19 Stasiun Radio & TV

SUBANG, (PR).-Sebanyak 18 stasiun radio siaran dan satu stasiun televisi pendidikan di Kabupaten Subang, belum lama ini disegel dan kegiatan operasionalnya dihentikan secara paksa oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Barat. Penyegelan dilakukan karena stasiun radio dan televisi tersebut melakukan kegiatan penyiaran tanpa dilengkapi perijinan yang dipersyaratkan.

Sweeping terhadap stasiun radio dan televisi gelap oleh KPID Jabar di Kab. Subang itu dipimpin Drs. Dian Wardiana, M.Si. dan Dr. Ati Rahmawati didampingi Kasubag Pemberitaan Humas Pemkab Subang, Jajang Haryasasmita, S.Sos. Disamping melibatkan aparat Dinas Perhubungan Jawa Barat dan Polres Subang.

Menurut Dian Wardiana, ke-18 radio siaran yang dipaksa turun dari udara tersebut 8 di antaranya berlokasi di Kecamatan Jalancagak. Sedangkan di Kecamatan Subang dan Pagaden masing-masing 5 radio siaran. "Untuk penyiaran Televisi Edukasi yang statusnya cabang dari Jakarta, lokasinya berada di Subang Kota," ujarnya.

Jumlah radio gelap atau radio yang melakukan siaran tanpa ijin di Kab. Subang diperkirakan masih cukup besar. Khususnya di wilayah jalur pantai utara (Pantura). "Di pantura marak radio gelap karena banyak wilayah yang masih blank spot di samping kesadaran masyarakat akan hukum masih rendah," tandas Dian Wardiana.

Atas pelanggaran yang dilakukan, kata dia, para pengelola radio/televisi gelap tersebut akan diproses secara hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil yang akan mengajukannya ke pengadilan. Karena di samping melanggar UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran, keberadaan radio gelap seringkali mengganggu frekuensi radio resmi yang berijin dan membayar pajak kepada negara.

Saat dilakukan penggerebekan, kebanyakan pengelola mengaku radio siarannya sebagai radio komunitas. Namun saat didesak, rata-rata tidak bisa menunjukkan surat apapun yang juga dipersyaratkan dalam pengelolaan radio komunitas. Bahkan ijin pendirian tower dari para tetangga tempat radio berdiri pun tidak dimiliki hingga penyegelan dan penyitaan peralatan langsung dilakukan oleh Tim Sweeping KPID Jabar.

Milik pejabat

Senada dengan itu disampaikan Kasubag Pemberitaan Humas Pemkab Subang, Jajang Haryasasmita, S.Sos. Bahkan menurutnya, saat hendak disegel dan diturunkan siarannya, ada sejumlah pengelola yang mengaku radio siaran tersebut milik sejumlah pejabat. Namun karena tidak dapat menunjukkan surat-surat yang menjadi syarat pengelolaan radio penyiaran, maka penurunan dan penyegelan tetap dilaksanakan.

Secara terpisah Kapolres Subang, AKBP H. Hery Subiansauri, S.H., M.H., M.Si. menyambut baik adanya upaya penertiban radio-radio gelap yang dilakukan KPID Jabar. "Di samping mengganggu radio-radio resmi, sebuah stasiun penyiaran dengan daya jangkau luas 'kan mampu mempengaruhi masyarakat secara massal dan serempak," ujarnya.

Karenanya bila sebuah radio penyiaran dikelola oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan beroperasi tanpa ijin, dapat memberi dampak buruk kepada masyarakat. Dengan penertiban seperti yang dilakukan KPID diharapkan kondusifitas di Kab. Subang dapat tetap terjaga.(A-96)***

sumber Pikiran Rakyat

Menggugah Pendidikan Lewat Radio Komunitas

DUA penyiar remaja itu menyapa pendengar dengan bahasa Sunda pada acara Sampurasun di Radio Pelangi 92,5 FM. Meski studio radio itu sempit dan sederhana, mereka tampak asyik. Bahkan, beberapa lagu atau tembang Sunda diputar untuk menghibur suasana siang itu.

Itulah pemandangan yang terlihat di Radio Pelangi atau disebut radio komunitas di Desa Panyingkiran, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, yang terletak bersebelahan dengan kantor desa. Ruang studio kecil, hanya ukuran 2 X 3,5 meter persegi, dilengkapi seperangkat alat radio yang sederhana pula.

Sejak beberapa bulan ini, seperti diakui Kepala Desa Panyingkiran, M. Kusnaedi, suasana kantor desa lebih meriah. Anak muda saban hari datang ke kantor desa, karena ingin melihat langsung dan ikut nimbrung dalam berbagai acara yang disiarkan radio komunitas itu. Bahkan, pada malam Minggu, sebagian besar anak muda menghabiskan waktunya di kantor desa yang kondisinya juga sederhana.

Bagi Kusnaedi, kondisi itu tidak ditemukan sebelumnya. Desa dengan luas lahan lebih kurang 294,4 hektare itu, merupakan daerah miskin. Karena, sebagian besar penduduknya, kini berjumlah lebih kurang 1.600 kepala keluarga, hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kehadiran radio, suasana desa menjadi ramai.

Kepala Desa Kusnaedi, mengaku terharu melihat kondisi desanya saat ini. Betapa tidak, sebagian besar anak muda di desa itu berangkat bekerja di Arab Saudi, atau negara lainnya di Timur Tengah. Para orang tua lebih mendahulukan anaknya untuk bekerja, ketimbang meneruskan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.

Terjadinya perubahan dan kesadaran masyarakat, khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kegiatan sosial yang diselenggarakan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Seperti dijelaskan Herawati, pekerja YKAI, setelah delapan bulan berada di Desa Panyingkiran, kesadaran orang tua melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang lebih tinggi, seperti dari sekolah dasar ke SMP, mencapai 98 persen. "Padahal sebelumnya, anak-anak di sini kebanyakan tamat SD. Kalaupun ada yang melanjutkan, sekira 30 persen,"ujarnya.

Bukan hanya persoalan rendahnya kesadaran melanjutkan pendidikan, orang tua di desa itu juga lebih memilih mengirimkan anak mereka bekerja ke Timur Tengah. Tahun 2004 saja, sebanyak 384 anak berangkat ke negeri padang pasir itu. "Dari jumlah itu, 98 persen adalah perempuan dan hampir 30 persen di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun," kata Samsul, juga dari YKAI.

Dengan modal Rp 12,5 juta serta dukungan penuh dari masyarakat dan desa, YKAI membangun radio komunitas, beberapa bulan lalu. Keterbatasan dana, tidak menjadi halangan. Anak muda diberikan latihan sebagai penyiar. "Jumlah penyiar sebanyak 20 orang, termasuk kepala desa. Mereka tidak dibayar, melainkan sukarela menjadi penyiar," jelas Samsul.

Sasaran utama radio itu, lanjut Herawati, adalah menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, serta memberikan pelatihan kepada anak-anak muda dalam membaca. Sebab, dengan menjadi penyiar, otomatis mereka harus belajar membaca. Untuk pendukung, di sebelah studio, dibuat sanggar membaca. Kemudian, juga disediakan perpustakaan keliling.

Pendekatan pekerja YKAI, memberikan arti mendalam bagi masyarakat Panyingkiran. Seperti dikatakan Kusnaedi, pengaruh radio cukup besar. Bahkan, ia rela menjadi penyiar mesti tanpa dibayar. "Saya membawakan acara suara desa dengan nama samaran Kuwu Japrat,"katanya.

Radio komunitas Pelangi, belum memiliki izin siaran, karena masih dalam proses di Dinas Perhubungan Kab. Karawang. Meski belum mengantongi izin, siaran dimulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB.

Untuk menutup biaya operasional, dijual atensi kepada pendengar. Satu lembar harganya Rp 400,00. "Dengan hasil penjualan atensi, kami bisa membiayai operasional radio, ditambah bantuan dari kepala desa," kata Samsul.

Keberadaan radio komunitas dan kesadaran pentingnya pendidikan di Desa Panyingkiran, tampaknya sampai juga ke telinga Menteri Negara Pemberdayaan Wanita, Meutia Hatta. Hal itu terbukti, pada 1 Juni lalu, ia khusus datang ke desa tersebut melihat langsung perubahan yang terjadi. (Irwan Natsir/"PR")***

sumber Pikiran Rakyat