Kehadiran PP No. 51 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Komunitas tidak terduga. Kendati UU memberi waktu dua tahun pada radio untuk mengikuti UU Penyiaran No. 32/ 2002 beserta aturan jelas dibawahnya, seperti PP setelah UU disahkan, tepatnya Desember 2004, tetapi perdebatan panjang antara KPI dan pemerintah mengenai siapa yang bertanggung jawab pada perizinan membuatnya menjadi tertangguhkan sampai batas waktu yang –waktu itu– masih misteri.
PP ini muncul ditengah KPI sibuk menjalankan SK No. 41 yang dikeluarkan Agustus 2005 tentang prosedur perizinan untuk penyiaran komunitas. KPI memang harus merespon kecemasan banyak orang tentang bagaimana prosedur perizinan yang benar karena PP yang tidak kunjung hadir.
Hampir seluruh jaringan radio komunitas wilayah di Indonesia sudah duduk bersama, berdiskusi membahas point demi point dalam SK KPI termasuk mencoba mengisi formulir perizinannya. Mereka semua juga sudah diskusi dengan KPI-D serta lembaga terkait untuk mencoba tidak melewati deadline penyerahan formulir di akhir Desember 2005.
Tapi tiba-tiba, PP ini muncul dengan isi yang jauh dari keinginan kita semua. PP ini membuat peta prosedur perizinan yang layaknya diberikan kepada KPI sebagai lembaga negara independen menjadi tidak relevan. Semua berubah.
Di dalam PP, tertulis jelas bahwa penyiaran komunitas harus mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri melalui KPI dengan mengisi formulir dengan memenuhi persyaratan sebagaimana tertulis dalam PP.
Seperti apa persyaratan yang diharuskan oleh PP no 51 ini?
Penyiaran komunitas harus memenuhi tiga persyaratan. Persyaratan: administrasi, program siaran dan data teknik siaran. Siapa yang harus melakukan klarifikasi persyaratan itu? Syarat administrasi dan teknik siaran dilakukan oleh Menteri sementara KPI hanya mengklarifikasi di program siaran.
Penyiaran komunitas pun harus menjawab pertanyaan klarifikasi dari Menteri atau KPI paling lambat 15 hari kerja, atau bisa dianggap membatalkan permohonannya. Kendati penyiaran komunitas tidak perlu pergi ke Jakarta untuk melakukan klarifikasi –karena Menteri dan KPI dibantu cabangnya di daerah– tetapi tetap saja penyiaran komunitas harus pergi ke beberapa pintu hanya untuk melakukan klarifikasi.
Betapa repot dan betapa jauh berbeda dari rekomendasi yang dibuat oleh radio komunitas yang tahun 2004 lalu berikan ke KPI dan dijadikan draft PP versi KPI.
Setelah proses klarifikasi selesai, Menteri kemudian menginisiasi forum rapat bersama –yang memang diamanatkan UU Penyiaran– dilakukan bersama KPI.
Nah, yang mengeluarkan atau menolak izin akhirnya adalah Menteri, berdasarkan kesepakatan rapat bersama. Tetapi, Menteri harus memberikan persetujuan atau penolakan kepada pemohon melalui KPI.
Proses perizinan kemudian menjadi berbelit-belit karena harus menyatukan banyak lembaga negara atau pemerintah. Dengan adanya banyaknya lembaga daerah yang memiliki kewenangan dalam penyiaran, pekerjaan memastikan mereka bisa berkoordinasi pasti bukan hal mudah.
Satu point lagi (diantara banyak point) dalam PP yang pasti akan mendapat kritikan dari penyiaran komunitas yaitu wilayah jangkauan siar. Penyiaran komunitas dibatasi maksimum 2,5 kilometer dari lokasi pemancar atau dengan ERP (effective radiated power) maksmimum 50 watt.
Betul bahwa wilayah jangkauan siar penyiaran komunitas harus dibatasi –karena itu yang membedakannya dengan swasta dan membuatnya harus maksimal dalam melayani pendengarnya—tetapi dengan membatasi jarak 2,5 km dan 50 watt? Perlu dimengerti bahwa banyak penyiaran komunitas yang berada jauh di pelosok dengan kondisi tanah yang beragam. Penyiaran komunitas juga tidak hanya berada di Jawa atau Bali yang frekuensinya sudah penuh. Sehingga pembatasan ini terasa sangat membebani.
Kongres AMARC di Jakarta (AMARC adalah Asosiasi Internasional untuk Radio Komunitas) yang beranggotakan lebih dari 3,000 anggota dari 106 negara bulan November 2005 mengeluarkan “Jakarta Declaration” yang dengan tegas meminta pemerintah untuk memberikan peraturan yang kondusif bagi pengembangan radio komunitas di seluruh wilayah. Karena radio komunitas memegang peran penting dalam proses demokratisasi dan pembangunan.
PP ini jelas menghambat perkembangan radio komunitas dan harus dikritisi bersama.
sumber MamaQiya
PP ini muncul ditengah KPI sibuk menjalankan SK No. 41 yang dikeluarkan Agustus 2005 tentang prosedur perizinan untuk penyiaran komunitas. KPI memang harus merespon kecemasan banyak orang tentang bagaimana prosedur perizinan yang benar karena PP yang tidak kunjung hadir.
Hampir seluruh jaringan radio komunitas wilayah di Indonesia sudah duduk bersama, berdiskusi membahas point demi point dalam SK KPI termasuk mencoba mengisi formulir perizinannya. Mereka semua juga sudah diskusi dengan KPI-D serta lembaga terkait untuk mencoba tidak melewati deadline penyerahan formulir di akhir Desember 2005.
Tapi tiba-tiba, PP ini muncul dengan isi yang jauh dari keinginan kita semua. PP ini membuat peta prosedur perizinan yang layaknya diberikan kepada KPI sebagai lembaga negara independen menjadi tidak relevan. Semua berubah.
Di dalam PP, tertulis jelas bahwa penyiaran komunitas harus mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri melalui KPI dengan mengisi formulir dengan memenuhi persyaratan sebagaimana tertulis dalam PP.
Seperti apa persyaratan yang diharuskan oleh PP no 51 ini?
Penyiaran komunitas harus memenuhi tiga persyaratan. Persyaratan: administrasi, program siaran dan data teknik siaran. Siapa yang harus melakukan klarifikasi persyaratan itu? Syarat administrasi dan teknik siaran dilakukan oleh Menteri sementara KPI hanya mengklarifikasi di program siaran.
Penyiaran komunitas pun harus menjawab pertanyaan klarifikasi dari Menteri atau KPI paling lambat 15 hari kerja, atau bisa dianggap membatalkan permohonannya. Kendati penyiaran komunitas tidak perlu pergi ke Jakarta untuk melakukan klarifikasi –karena Menteri dan KPI dibantu cabangnya di daerah– tetapi tetap saja penyiaran komunitas harus pergi ke beberapa pintu hanya untuk melakukan klarifikasi.
Betapa repot dan betapa jauh berbeda dari rekomendasi yang dibuat oleh radio komunitas yang tahun 2004 lalu berikan ke KPI dan dijadikan draft PP versi KPI.
Setelah proses klarifikasi selesai, Menteri kemudian menginisiasi forum rapat bersama –yang memang diamanatkan UU Penyiaran– dilakukan bersama KPI.
Nah, yang mengeluarkan atau menolak izin akhirnya adalah Menteri, berdasarkan kesepakatan rapat bersama. Tetapi, Menteri harus memberikan persetujuan atau penolakan kepada pemohon melalui KPI.
Proses perizinan kemudian menjadi berbelit-belit karena harus menyatukan banyak lembaga negara atau pemerintah. Dengan adanya banyaknya lembaga daerah yang memiliki kewenangan dalam penyiaran, pekerjaan memastikan mereka bisa berkoordinasi pasti bukan hal mudah.
Satu point lagi (diantara banyak point) dalam PP yang pasti akan mendapat kritikan dari penyiaran komunitas yaitu wilayah jangkauan siar. Penyiaran komunitas dibatasi maksimum 2,5 kilometer dari lokasi pemancar atau dengan ERP (effective radiated power) maksmimum 50 watt.
Betul bahwa wilayah jangkauan siar penyiaran komunitas harus dibatasi –karena itu yang membedakannya dengan swasta dan membuatnya harus maksimal dalam melayani pendengarnya—tetapi dengan membatasi jarak 2,5 km dan 50 watt? Perlu dimengerti bahwa banyak penyiaran komunitas yang berada jauh di pelosok dengan kondisi tanah yang beragam. Penyiaran komunitas juga tidak hanya berada di Jawa atau Bali yang frekuensinya sudah penuh. Sehingga pembatasan ini terasa sangat membebani.
Kongres AMARC di Jakarta (AMARC adalah Asosiasi Internasional untuk Radio Komunitas) yang beranggotakan lebih dari 3,000 anggota dari 106 negara bulan November 2005 mengeluarkan “Jakarta Declaration” yang dengan tegas meminta pemerintah untuk memberikan peraturan yang kondusif bagi pengembangan radio komunitas di seluruh wilayah. Karena radio komunitas memegang peran penting dalam proses demokratisasi dan pembangunan.
PP ini jelas menghambat perkembangan radio komunitas dan harus dikritisi bersama.
sumber MamaQiya
No comments:
Post a Comment