Perjalanan Radio Komunitas di Indonesia mengalami ganjalan-ganjalan. Ini semua karena berbelitnya regulasi dari pemerintah. KPID diharapkan bisa menjadi jembatan untuk melegalkan keberadaan Rakom.
BERANGKAT dari kebutuhan atas informasi. Sampai saat ini di Jogyakarta bermunculan radio komunitas (Rakom) di kampus, dari golongan petani, pedagang, dsb. Ada yang tetap eksis, tapi banyak pula yang tutup karena kendala teknis, manajemen, peraturan, dan bencana. Hampir 40% Rakom di Kabupaten Bantul berjumlah 9 station terpaksa off karena rusak parah diguncang gempa bumi.
Dalam perjalanannya, Rakom di Jogyakarta mengalami ganjalan-ganjalan terutama soal peraturan ijin penyiarannya. Hingga kini Rakom yang ada masih terbilang ”asing” ibarat hutan belantara. Bahkan dianggap sebagai radio liar.
Sesuai dengan regulasi yang berlaku (UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002). Hak hidup radio komunitas itu sah ada. Dan secara hukum diakui di Indonesia. Di samping UU penyiaran mestinya juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan Rakom. Tetapi, di situlah letak kekusutan itu.
Sementara ini memang belum ada PP yang diakui bersama antara penyiaran komunitas dengan pihak Menkominfo tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Meskipun tahun 2003, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) telah mengajukan draft penyempurnaan hasil dari berbagai forum dan survei. Di samping itu JRKI juga sudah menemui DPR yang diterima Sutardjo Suryoguritno. Tetapi, Sutardjo justru menganggap protes tersebut tidak sesuai dengan aspirasi publik, dan DPR tidak akan membahasnya kalau PP itu tidak diubah. Demikian juga dengan KPI Pusat juga sudah mengajukan keberatan, tapi tetap tidak direspon malah semakin arogan.
”Tetapi, kami tetap mengacu pada aspek legal UU no.32 th 2002. Soal draft PP masih belum fix. Bahkan, Sofyan Djalil (Menkominfo, ed) juga belum merasa menandatangani PP itu. Jadi, belum sah berlaku. Karena masih banyak pro-kontra dalam pasal-pasalnya. Tapi jika Menkominfo ketahuan telah menandatangani, kami akan mempersoalkan,” terang Ketua JRKI, Surowo.
Pro-kontra yang dimaksud adalah penyiaran komunitas yang semula mempunyai tiga kanal menurut SKM no 13 tahun 2003, justru menjadi dua kanal. Jika tetap diteruskan Rakom tidak bisa siaran, karena tertimpa channel radio swasta niaga yang berkekuatan lebih dari 3000 watt. Sedangkan Rakom hanya berkekuatan 50 watt.
Untungnya Balai Monitor (Balmon)—pengatur frekuensi di Jogyakarta—dan KPID memiliki komitmen bersama mendukung Rakom bersiaran sepanjang tidak saling mengganggu dan diganggu.
Dukungan serupa juga datang dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X yang mengatakan, sepanjang warga membutuhkan dan diakui oleh UU, maka hak hidupnya tetap diakui. Keberadaan Rakom sangat dibutuhkan oleh masyarakat, untuk itu masyarakat diminta mengaturnya dengan baik. Artinya, mengelolanya berdasar UU dan ketentuan yang berlaku di penyiaran (etika penyiaran).
Aksi saling dukung terlihat dari keharmonisasian tiga elemen JRKY, KPIY, dan Balmon. Jaringan Pendukung Radio Komunitas (JPRK) terdiri dari beberapa LSM, kelompok masyarakat seperti Pawarta (paguyuban warga Jogyakarta). Bahkan, dukungan itu dideklarasikan pada 6 Mei 2002, yang kemudian mendorong keluarnya UU 32/2002.Karena komitmen yang panjang itulah Balmon bersedia tutup mata tidak akan melakukan sweeping, sepanjang Rakom bergabung dalam JRKY. Di luar itu dikatakan ilegal. Maksudnya yang secara administratif tidak melakukan registrasi, mengisi blangko existing penyiaran sehingga sulit terdeteksi. Pihak KPID Jogya dan Balmon akan menindak hal itu. Karena tidak ada itikad mengurus perijinannya, badan hukum, dan lain-lain.
”JRKY membuka pintu lebar untuk Rakom yang belum berbadan hukum, untuk segera mengurusnya. Di DIY sudah ada 20 Rakom berbadan hukum. Bentuknya bisa perkumpulan atau paguyuban,” lanjut Surowo yang juga anggota JRKY.
Sementara, menanggapi soal ketidakjelasan siapa yang berhak memberikan ijin siaran KPI atau Kominfo. Pihak Rakom tetap sepakat dengan aspirasi dan semangat UU no 32 tahun 2002 bahwa KPI bersama pemerintah. Karena KPI merupakan representasi dari masyarakat.Pihak Rakom juga sudah berkali-kali mengajak duduk bersama, misalnya waktu proses re-drafting. Tetapi, tetap saja tidak ada perhatian. Justru sekarang memakai proteksi UU telekomunikasi. Padahal, UU telekomunikasi itu dapat digunakan untuk menghalau penyiaran komunitas. Terutama klausul pengkanalan frekuensi. Misalnya, Rakom di kanal 202, 203, dan 204 atau 107.7, 107,8, dan 107.9 FM.
Soal itu sebenarnya sudah diputuskan oleh SK Men no.15 tahun 2003 lalu. Ternyata di beberapa daerah kanal itu justru dipakai oleh radio pemerintah daerah dan radio swasta. ”Ini kan berarti UU telekomunikasi berperan untuk melindungi kepentingan pemerintah sendiri,” tandas pengelola Rakom Minomartani ini.
Dan baru-baru ini Rakom juga berdialog dengan Komisi A DPR RI. Jawabannya tetap sama, yakni mempertahankan UU Telekomunikasi. Mau tidak mau Rakom harus mengikuti. Meski boleh menggunakan tiga kanal, namun kebutuhan tenaga dan cakupan mesti disesuaikan dengan aspek geografis dan sosiologis. Karena dengan kekuatan 50 watt tidak bisa digunakan di Papua. Di sana jarak 2,5 km tidak bisa mencakup satu RT.
”Lagi pula komunikasi dibutuhkan warga setempat untuk pengembangan masyarakat. Yang namanya komunikasi kan bisa menimbulkan berbagai kemungkinan. Tetapi, arti komunitas ini akan dikerdilkan oleh PP dengan satu dusun dan cakupan kecil, misalnya radio komunitas perempuan, pedagang, dan lain-lain. Jadi harapan kami, PP nantinya mempertimbangkan aspek geografis dan sosiologis,” papar Surowo.
Persoalan ijin dan aturan main dalam PP yang kaku memang membuat repot Rakom-Rakom yang ada. Misalnya, Radio Komunitas Wiladeg di Gunung Kidul, ketika Dewan Pengawas Radio Komunitas (DPK) dikejar untuk membuat ijin. Pihak DPK sudah mengajukan ke KPI Provinsi. Tetapi, setelah keluar PP, ijin harus ke KPI Pusat dan Depkominfo. Setelah diajukan justru belum ada konfirmasi dari KPI Pusat.
”Padahal, mereka juga yang janji akan mengontak kami. Alasan mereka ada pendataan ulang. Kalau di KPI sebenarnya kami sudah terdaftar perijinannya. Kami juga melewati pengecekan, seperti apakah selama 6 bulan alat yang dipakai tidak menimbulkan efek, apakah Rakom ini layak keberadaannya di daerah tersebut, dsb,” terang Kepala Desa Wiladeg, Sukoco.
Keluhan lain yang patut dikritisi dari PP tentang Rakom adalah kakunya peraturan yang ada, misalnya tata ruang, peralatan harus standar mulai dari mixer, komputer, dsb. Padahal, kebanyakan Rakom bisa berdiri dari hasil swadaya komunitas tersebut.
Dalam hal kanalisasi frekuensi. Rakom Wiladeg mengaku tidak keberatan kanalnya ditentukan asalkan di kanal tersebut tidak boleh ada radio komersil. Alasannya, siaran bisa terganggu jika frekuensinya padat. Tiga kanal di Gunung Kidul tidak bisa disamakan dengan di Jogya, karena akan tumpang tindih. Misalnya, di Jogya bermain di frekuensi 107.6 MHz. Antara 107.6-107.8 masih terganggu. Bahkan di tengah siaran, tiba-tiba jaraknya terpotong menjadi 100-200 meter tidak sampai 2,5 km. ”Jelas kalah, power kita hanya 50 watt, sedangkan mereka 2 kilowatt,” kata Sukoco.
Menyinggung soal perijinan, Rakom Wiladeg berharap agar prosesnya dipermudah dan berada di satu tempat. Sebab selama ini keberadaan Rakom dinilai liar tidak berijin. Anggapan itu juga ditunjukkan oleh Infokom dan DPRD Jogyakarta. Mereka cenderung tidak responsif.
Pihak Infokom sering mendiskreditkan keberadaan Rakom Wiladeg. Namun, pihak Rakom menilai anggapan miring itu dipicu oleh faktor kecemburuan dan bersifat personal. ”Dulu, di Infokom ada yang memiliki radio swasta. Karena pendengarnya banyak pindah ke radio kita mereka cemburu, agak sentimen. Tapi sekarang tidak karena radionya sudah dijual,” ungkap Sukoco.
Bahkan awal perjalanan, Rakom Wiladeg pernah disantroni oleh aparat kepolisian yang menanyakan soal ijin siar. Kades Sukoco juga sempat dipanggil oleh Kasat Serse Polres setempat perihal perijinan tersebut. Setelah ditunjukkan PP dan siapa yang berhak mengawasi radio, mereka memaklumi.
Rakom Wiladeg telah melalui berbagai aturan main. Seperti penandatangan sekian ratus anggota komunitas, ada lebih 400 anggota komunitas yang menginginkan dan mendukung keberadaan radio tersebut. Kemudian pemilihan badan hukum yang akhirnya disepakati dengan paguyuban yang disahkan oleh notaris.
sumber Adhiwicaksana
BERANGKAT dari kebutuhan atas informasi. Sampai saat ini di Jogyakarta bermunculan radio komunitas (Rakom) di kampus, dari golongan petani, pedagang, dsb. Ada yang tetap eksis, tapi banyak pula yang tutup karena kendala teknis, manajemen, peraturan, dan bencana. Hampir 40% Rakom di Kabupaten Bantul berjumlah 9 station terpaksa off karena rusak parah diguncang gempa bumi.
Dalam perjalanannya, Rakom di Jogyakarta mengalami ganjalan-ganjalan terutama soal peraturan ijin penyiarannya. Hingga kini Rakom yang ada masih terbilang ”asing” ibarat hutan belantara. Bahkan dianggap sebagai radio liar.
Sesuai dengan regulasi yang berlaku (UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002). Hak hidup radio komunitas itu sah ada. Dan secara hukum diakui di Indonesia. Di samping UU penyiaran mestinya juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan Rakom. Tetapi, di situlah letak kekusutan itu.
Sementara ini memang belum ada PP yang diakui bersama antara penyiaran komunitas dengan pihak Menkominfo tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Meskipun tahun 2003, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) telah mengajukan draft penyempurnaan hasil dari berbagai forum dan survei. Di samping itu JRKI juga sudah menemui DPR yang diterima Sutardjo Suryoguritno. Tetapi, Sutardjo justru menganggap protes tersebut tidak sesuai dengan aspirasi publik, dan DPR tidak akan membahasnya kalau PP itu tidak diubah. Demikian juga dengan KPI Pusat juga sudah mengajukan keberatan, tapi tetap tidak direspon malah semakin arogan.
”Tetapi, kami tetap mengacu pada aspek legal UU no.32 th 2002. Soal draft PP masih belum fix. Bahkan, Sofyan Djalil (Menkominfo, ed) juga belum merasa menandatangani PP itu. Jadi, belum sah berlaku. Karena masih banyak pro-kontra dalam pasal-pasalnya. Tapi jika Menkominfo ketahuan telah menandatangani, kami akan mempersoalkan,” terang Ketua JRKI, Surowo.
Pro-kontra yang dimaksud adalah penyiaran komunitas yang semula mempunyai tiga kanal menurut SKM no 13 tahun 2003, justru menjadi dua kanal. Jika tetap diteruskan Rakom tidak bisa siaran, karena tertimpa channel radio swasta niaga yang berkekuatan lebih dari 3000 watt. Sedangkan Rakom hanya berkekuatan 50 watt.
Untungnya Balai Monitor (Balmon)—pengatur frekuensi di Jogyakarta—dan KPID memiliki komitmen bersama mendukung Rakom bersiaran sepanjang tidak saling mengganggu dan diganggu.
Dukungan serupa juga datang dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X yang mengatakan, sepanjang warga membutuhkan dan diakui oleh UU, maka hak hidupnya tetap diakui. Keberadaan Rakom sangat dibutuhkan oleh masyarakat, untuk itu masyarakat diminta mengaturnya dengan baik. Artinya, mengelolanya berdasar UU dan ketentuan yang berlaku di penyiaran (etika penyiaran).
Aksi saling dukung terlihat dari keharmonisasian tiga elemen JRKY, KPIY, dan Balmon. Jaringan Pendukung Radio Komunitas (JPRK) terdiri dari beberapa LSM, kelompok masyarakat seperti Pawarta (paguyuban warga Jogyakarta). Bahkan, dukungan itu dideklarasikan pada 6 Mei 2002, yang kemudian mendorong keluarnya UU 32/2002.Karena komitmen yang panjang itulah Balmon bersedia tutup mata tidak akan melakukan sweeping, sepanjang Rakom bergabung dalam JRKY. Di luar itu dikatakan ilegal. Maksudnya yang secara administratif tidak melakukan registrasi, mengisi blangko existing penyiaran sehingga sulit terdeteksi. Pihak KPID Jogya dan Balmon akan menindak hal itu. Karena tidak ada itikad mengurus perijinannya, badan hukum, dan lain-lain.
”JRKY membuka pintu lebar untuk Rakom yang belum berbadan hukum, untuk segera mengurusnya. Di DIY sudah ada 20 Rakom berbadan hukum. Bentuknya bisa perkumpulan atau paguyuban,” lanjut Surowo yang juga anggota JRKY.
Sementara, menanggapi soal ketidakjelasan siapa yang berhak memberikan ijin siaran KPI atau Kominfo. Pihak Rakom tetap sepakat dengan aspirasi dan semangat UU no 32 tahun 2002 bahwa KPI bersama pemerintah. Karena KPI merupakan representasi dari masyarakat.Pihak Rakom juga sudah berkali-kali mengajak duduk bersama, misalnya waktu proses re-drafting. Tetapi, tetap saja tidak ada perhatian. Justru sekarang memakai proteksi UU telekomunikasi. Padahal, UU telekomunikasi itu dapat digunakan untuk menghalau penyiaran komunitas. Terutama klausul pengkanalan frekuensi. Misalnya, Rakom di kanal 202, 203, dan 204 atau 107.7, 107,8, dan 107.9 FM.
Soal itu sebenarnya sudah diputuskan oleh SK Men no.15 tahun 2003 lalu. Ternyata di beberapa daerah kanal itu justru dipakai oleh radio pemerintah daerah dan radio swasta. ”Ini kan berarti UU telekomunikasi berperan untuk melindungi kepentingan pemerintah sendiri,” tandas pengelola Rakom Minomartani ini.
Dan baru-baru ini Rakom juga berdialog dengan Komisi A DPR RI. Jawabannya tetap sama, yakni mempertahankan UU Telekomunikasi. Mau tidak mau Rakom harus mengikuti. Meski boleh menggunakan tiga kanal, namun kebutuhan tenaga dan cakupan mesti disesuaikan dengan aspek geografis dan sosiologis. Karena dengan kekuatan 50 watt tidak bisa digunakan di Papua. Di sana jarak 2,5 km tidak bisa mencakup satu RT.
”Lagi pula komunikasi dibutuhkan warga setempat untuk pengembangan masyarakat. Yang namanya komunikasi kan bisa menimbulkan berbagai kemungkinan. Tetapi, arti komunitas ini akan dikerdilkan oleh PP dengan satu dusun dan cakupan kecil, misalnya radio komunitas perempuan, pedagang, dan lain-lain. Jadi harapan kami, PP nantinya mempertimbangkan aspek geografis dan sosiologis,” papar Surowo.
Persoalan ijin dan aturan main dalam PP yang kaku memang membuat repot Rakom-Rakom yang ada. Misalnya, Radio Komunitas Wiladeg di Gunung Kidul, ketika Dewan Pengawas Radio Komunitas (DPK) dikejar untuk membuat ijin. Pihak DPK sudah mengajukan ke KPI Provinsi. Tetapi, setelah keluar PP, ijin harus ke KPI Pusat dan Depkominfo. Setelah diajukan justru belum ada konfirmasi dari KPI Pusat.
”Padahal, mereka juga yang janji akan mengontak kami. Alasan mereka ada pendataan ulang. Kalau di KPI sebenarnya kami sudah terdaftar perijinannya. Kami juga melewati pengecekan, seperti apakah selama 6 bulan alat yang dipakai tidak menimbulkan efek, apakah Rakom ini layak keberadaannya di daerah tersebut, dsb,” terang Kepala Desa Wiladeg, Sukoco.
Keluhan lain yang patut dikritisi dari PP tentang Rakom adalah kakunya peraturan yang ada, misalnya tata ruang, peralatan harus standar mulai dari mixer, komputer, dsb. Padahal, kebanyakan Rakom bisa berdiri dari hasil swadaya komunitas tersebut.
Dalam hal kanalisasi frekuensi. Rakom Wiladeg mengaku tidak keberatan kanalnya ditentukan asalkan di kanal tersebut tidak boleh ada radio komersil. Alasannya, siaran bisa terganggu jika frekuensinya padat. Tiga kanal di Gunung Kidul tidak bisa disamakan dengan di Jogya, karena akan tumpang tindih. Misalnya, di Jogya bermain di frekuensi 107.6 MHz. Antara 107.6-107.8 masih terganggu. Bahkan di tengah siaran, tiba-tiba jaraknya terpotong menjadi 100-200 meter tidak sampai 2,5 km. ”Jelas kalah, power kita hanya 50 watt, sedangkan mereka 2 kilowatt,” kata Sukoco.
Menyinggung soal perijinan, Rakom Wiladeg berharap agar prosesnya dipermudah dan berada di satu tempat. Sebab selama ini keberadaan Rakom dinilai liar tidak berijin. Anggapan itu juga ditunjukkan oleh Infokom dan DPRD Jogyakarta. Mereka cenderung tidak responsif.
Pihak Infokom sering mendiskreditkan keberadaan Rakom Wiladeg. Namun, pihak Rakom menilai anggapan miring itu dipicu oleh faktor kecemburuan dan bersifat personal. ”Dulu, di Infokom ada yang memiliki radio swasta. Karena pendengarnya banyak pindah ke radio kita mereka cemburu, agak sentimen. Tapi sekarang tidak karena radionya sudah dijual,” ungkap Sukoco.
Bahkan awal perjalanan, Rakom Wiladeg pernah disantroni oleh aparat kepolisian yang menanyakan soal ijin siar. Kades Sukoco juga sempat dipanggil oleh Kasat Serse Polres setempat perihal perijinan tersebut. Setelah ditunjukkan PP dan siapa yang berhak mengawasi radio, mereka memaklumi.
Rakom Wiladeg telah melalui berbagai aturan main. Seperti penandatangan sekian ratus anggota komunitas, ada lebih 400 anggota komunitas yang menginginkan dan mendukung keberadaan radio tersebut. Kemudian pemilihan badan hukum yang akhirnya disepakati dengan paguyuban yang disahkan oleh notaris.
sumber Adhiwicaksana
1 comment:
gak ada komen aq boss,
jgn lupa mampir webku
www.icradiojogja.tk
trims
Post a Comment